Mengenal Ilmu Tasawuf - Makalah

Daftar Isi: [Tampil]


A.            Pengertian Tasawuf[1]

Tasawuf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan “ahlu suffah” yang berarti sekelompok orang pada masa rasullah yang hidupnya di isi dengan banyak berdiam di serambi-serambi masjid, dan mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada allah. 

Menurut istilah banyak sekali diformulasikan pada ahli yang satu dan yang lainnya berbeda, dan dari pengertian menurut para ahli tasawuf dapat disimpulan bahwa tasawuf adalah ilmu yang mempelajari usaha-usaha membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan marifat menuju keabadian, saling mengingatkan antar manusia, serta berpegang teguh pada janji allah dan mengikuti syariat rasulullah dalam mendekatkan diri dan mencampai keridhoan-Nya.

B.            Kritik Terhadap Sumber Tasawuf

Para penentang tasawuf menganggap bahwa tasawuf bukan ajaran yang berasal dari Rosululloh dan bukan pula ilmu warisan dari para sahabat. Mereka menganggap bahwa ajaran tasawuf merupakan ajaran sesat dan menyesatkan yang diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi, dan zuhud Budha.

Disamping itu, ada juga yang berpendapat bahwa tasawuf merupakan konspirasi yang tersusun rapi untuk menghancurkan Islam. Diantara tujuan terpenting konspirasi tersebut adalah:
a.      Menjauhkan kaum muslim dari Islam yang hakiki dan ajarannya suci murni dengan kedok Islam.
b.      Memasarkan akidah-akidah Yahudi, Kristen, sekte-sekte di India, dan sekte-sekte di Persia seperti agama Budha, agama Hindu, Zoroaster, Al-Manawiyah, Platonisme.[2]

Ibrahim bin Hilal mencoba memetakan pengaruh unsur lain, terutama filsafat Yunani, terhadap tasawuf aliran falsafi. Ia menegaskan bahwa sumber dan kata tasawuf, baik dari mazhab terdahulu maupun belakangan, berasal dari luar dan bukan dari Islam.[3]

C.             Kritik Terhadap Tasawuf Falsafi[4]

Tasawuf falsafi diwakili para sufi yang memadukan tasawuf dengan filsafat. Para sufiyang juga filosof ini mendapat banyak kecaman dari para fuqaha, yang justru semakin keras akibat pernyataan-pernyataan mereka yang panteistis. Di antara fuqaha yang paling keras kecamannya terhadap golongan sufi yang juga filosof ialah Ibn Taimiyah (meninggal pada tahun 728 H).[5]

Dari mulut sebagian sufi lahir beberapa syatahat, yaitu ungkapan isyarat – isyarat yang mereka sampaikan saat berada dalam keadaan mabuk ketuhanan dan lenyapnya kesadaran, yang makna – maknanya tidak jelas bagi orang yang belum mencapai kondisi rohani (ahwal) seperti mereka. 

Ungakapan –ungkapan itu barang kali keluar dari batas – batas etika syara’, tidak pantas di hadapan Tuhan Yang Mahasuci, atau dari ungkapan – ungkapan itu merembes paham ateisme. Sikap kita terhadap syathahat – syathahat mereka itu tidak berbeda dengan sikap ulama salaf yang saleh.[6]

Dalam kaitan ini, Ibnu Qayyim berkata, “Ketauhilah bahwa dalam bahasa kaum sufi itu ada banyak metafora yang tidak dimiliki oleh bahasa kaum yang lainnya. Ada pengungkapan hal umum, satu kata, tetapi yang dimaksud adalah hal yang khusus. Atau pengungkapan satu kata, namun yang dimaksud adalah indikasinya, bukan makna sebenarnya. Karena itu, mereka berkata, ‘Kami adalah para pemilik isyarat, bukan pemilik ungkapan. Isyarat adalah bagi kami, sedang ungkapan bagi orang selain kami’. Mereka (para sufi) terkadang mengungkapkan satu frase yang di ungkapkan oleh orang ateisme.
Dengan frase itu para sufi menghendaki suatu makna bukan kerusakan. Oleh karena itu, frase itu menjadi sebab timbulnya fitnah diantara dua kelompok. Satu kelompok bersandar kepada whir frase, lalu menilai orang yang mengungkapkan frase itu ahli bid’ah dan menyesatkan. 

Sementara kelompok yang satu lagi memandang maksud – maksud dan tujuan dari orang –orang sufi, lalu membenarkan ungkapan dan isyarat – isyarat mereka itu. Maka orang yang mencari kebenaran (al-haqq) akan menerimanya dari orang ahli kebenaran, dan menolak dari yang bukan ahli kebenaran.

Ibn Nadim, berlandaskan sumber – sumber tertentu yang bertentangan, pada abad ke-10 berkata tentang Al-Hallaj:“Al-Husayn ibn Mansur Al-Hallaj adalah seorang penipu dan tukang sulap yang memberanikan diri masuk ke dalam pemikiran mazhab sufi, memengaruhi gaya bahasa mereka. 

Ia menyatakan menguasai setiap bidang ilmu, tetapi pernyataan itu tidak berharga. Ia tahu sedikit tentang al-hikmah. Ia bodoh, berani, patuh, tetapi tidak gentar di hadapan para sultan, berusaha melakukan hal – hal besar dan sungguh menginginkan suatu perubahan dalam pemerintah. Diantara para pengikutnya ia mengaku bersifat ilahi, dan berbicara tentang penyatuan ilahi”

Di antara hal paling penting yang dituduhkan oleh orang – orang yang menentang kaum sufi adalah tuduhan yang bodoh dan palsu bahwa kaum sufi meyakini hulul dan ittihad. Artinya, Allah menduduki seluruh bagian bumi, baik di lautan, pegunungan, bukit – bukit, pepohonan, manusia, hewan, dan sebagainya. 

Dengan kata lain, makhluk adalah khaliq itu sendiri. Semua yang di dapatdiraba dan dapat dilihat di alam ini merupakan dzat allah dan diri-Nya. Mahasuci Allah dari semua itu.

Hulul dan Itthad tidak mungkin terjadi, kecuali dalam satu jenis. Allah bukanlah jenis sehingga Dia tidak bisa menyatu dengan jenis – jenis lainnya. Bagaimana bisa Yang Qadim menempati yang hadis, Kahliq menempati makhluk? Jika yang dimaksud dengan hulul adalah masuknya ‘aradh (lawan dari esensi) ke dalam esensi, Allah bukanlah ‘arad. 

Jika yang dimaksud adalah masuknya esensi ke dalam esensi, Allah bukanlah esensi. Jika hulul dan Ittihad antara dua makhluk adalah sesuatu yang mustahil, tidak mungkin dua orang laki – laki karena perbedan zat keduannya, perbedaan antara Khaliq dan makhluk., antara pembuat dan yang dibuat, dan antara dzat yang wajib adadan sesuatu yang mungkin, lebih besar dan lebih utama lagi.

Para ulama dan para sufi yang tulus terus berusaha menjelaskan kesalahan pendapat tentang hulul dan Ittihad, menunjukkan kerusakannya, dan memperingatkan kesesatannya.[7]

Dalam Al-Aqidah Ash-Shughra, Syekh Muhyiddin inb Arabi berkata, “Mahatinggi Allah dari menempati yang hadis, atau yang hadis menempati-Nya”. Dalam bab Al-Asrar, ia berkata, “Seorang ahli makrifat tidak boleh berkata, “Aku adalah Allah”, sekalipun dia sampai pada tingkat kedekatan yang paling tinggi. 

Seorang ahli makrifat harus menjauhi perkataan seperti ini. Hendaknya dia berkata, ‘Aku adalah hamba yang hina dalam perjalanan menuju Engkau’. Dalam bab ke-169, ia berkata, “Yang Qadim sekali – kai tidak akan menjadi tempat yang hadis, dan sekali – kali tidak akan menempati yang hadis”. 

Dalam bab Al-Asrar, ia berkata, Barang siapa berkata tentang hulul, berarti dia itu sakit. Mengaku ittihad, adalah penyakit yang tidak akan hilang. Dan tidak akan berkata tentang ittihad, kecuali orang murtad, sebagaimana orang yang berkata tentang hulul adalah orang yang bodoh dan berlebih – lebihan.” 

Dalam bab yang sama, ia berkata, “Yang hadis tidak akan terlepas dari sifat – sifat makhluk. Jika Yang Qadim tidak menempatinya, benarlah perkataan ahli tajsim. Jadi, Yang Qadim tidak menempati dan tidak menjadi tempat”.

D.            Kritik Terhadap Tasawuf Secara Umum

Pembaharuan tasawuf Al-Ghazali, yaitu upayanya untuk menahan gerakan yang wataknya melebih-lebihkan itu tak berhasil. Walaupun pengaruhnya memang sangat luar biasa. Gerakan mistisme menjadi sulit dikendalikan dan tidak dominan lagi. Umat mengalami kemunduran, yang selama dua abad terkhir ini mereka berpaya keras mebgatasi kemunduran itu.[8]

Alih-alih tetap mendisiplinkan manusia untuk mematuhi Tuhan dan menjalankan syariat, memperdalam komitmennyaterhadap islam dan menyucikan serta mengangkat jiwanya pada jalan kebenaran, tasawuf menjadi penyakit yang menyebabkan atau bahkan memperburuk suatu hal.

Kritikan-kritikan berikut tertuju secara khusus tertuju kepada aliran-aliran tasawuf  seperti halnya :

1.        Syari’ah dan haqiqah (Hakikat)

Syari’ah, dikalangan ahli hukum islam, diartikan sebagai seluruh ketentuan yang ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah, baik yang berhubungan dengan akidah, akhlak maupun perbuatan manusia baik dalam bentuk ibadah maupun mu’amalah.

Berbeda dengan itu, para sufi berpendapat bahwa syari’ah adalah kumpulan hukum peraktis, yakni tuntunan-tunanan peraktis dari Al-Quran dan As-Sunnahtentang cara pelaksanaan ibadah maupun muamalah. Syariah dalam pandangan mereka lebih identik dengan fiqh, yakni aturan-aturan yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang digali dari dalil-dalil yang terperinci. 

Rahasia-rahasia yang tersimpan atau yang tersembunyi dibalik aturan tersebutlah yang merekah namai dengan haqiqah (hakekat)[9]. Sebagai contoh, pergerakan dalam shalat itu yang dinamakan dengan syariat sedangkan berhubungan dalam arti berkomunikasi dan “bersatu” dengan-Nya adalah hakikat.

Ada dua pandangan yang dikemukaan oleh para sufi terhadap syariah. Pertama, pandangan kaum sufi yang moderat (masih berpegangan pada syariah). Menurut kelompok ini, syariat dalam artian lahiriyah menjadi perhatian para ahli fiqh, sedangkan aspek batin (hakikat) menjadi perhatian khusus para kaum sufi.

Kedua, pandangan kaum sufi yang ekstrim. Menurut kelompok ini, syariah hanya di tujukan kepada kelompok masyarakat awam saja, hal ini di karenakan keterbatasan daya berfikir dan hati mereka dalam memahai makana syariah yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, masyarakat awam hanya dituntun hanya shalat lima waktu dengan ketentuan yang telah ditetapkan. 

Berbeda lagi dengan sufi ekstrim ini, merka meyakini ada hakikat di balik syariah itu. Apabila telah dicapai maka syariah bukanlah menjadi hal yang penting. Contoh, hakikatshalat adalah komunikasi yang berkelanjutan (langgeng) dengan Allah SWT. Apabila itu telah dicapai, maka shalat dalam artian syariah itu tidak lagi di gunakan.

2.        Ilmu muktasab dan ladunni[10]

Dalam tradisi ilmu islam, secara gais besar, dikenal dua macam ilmu yaitu : pertama, ilmu muktasab, adalah ilmu yang diperoleh lewat proses pembelajaran (membaca atau berguru). dan yang kedua, ilmu ladunni adalah ilmu yang tidak diperoleh melalui proses tersebut. 

Ilmu yang kedu ini adalah dalah anugeerah atau pemberan dari Allah yang masuk kedalam (proses) hati karena telah terbukanya pintu ma’rifah sebagai buah dari kebersihan hati dan kedekatan dengan-Nya.

Karena sikap mereka lebih cenderung kepa ilmu ladunni, mereka diduga tidak menaruh perhatian yang besar terhadap upaya menuntut ilmu dan mereka juga diduga tidak menghargai keberadaannya (ilm al-muktasab). Persepsi ini didasarkan kepada ungkapan Al-Gazali guru besar sufi sebagai berikut :

“Ketahuilah bahwa keinginan para ahli tasawuf adalah ilmui lhamiyah, dan bukannya ilmu ta’limiyah. Oleh karenanya mereka tidak tertarik untuk mempelajari buku-buku, dan membahas pendapat-pendapat mereka beserta dalil-dalilnya yang ada di dalamya.”[11]

3.        Motivasi ibadah[12]

Pada tingkatan tetentu, kaum sufi berkeyakinan bahwa ibdah yang benar adalah ibadah yang tidak mengharapkan imbalan apapun dari Allah. Tidak mengharapkan surga dan tidak pula takut neraka. Bahkan sementara sufi berkeyakinan bahwa ibadah itu adalah perbuatan Allah, bukan perbuatan seorang hamba. Siapa yang menyaksikan ibadah itu sebagai perbuatan taatnya, maka ia telah durhaka.

Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Rabi’ah Al-Adawiyah berikut : “Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka, bukan pula ingin masuk surga. Tetapi aku mengabdi karena cintaku pada-Nya”. 

“Tuhanku, jika kupuja Engkau karena takut kepa dan eraka, bakarlah akudidalamnya; dan jika kupuja Engkau karena mengharapkan surga, jauhkanlah aku daripadanya; tetapi jika Engkau kupuja semata-mata karena Engkau, maka janganlah sembunyikan kecantikanMu yang kekal dariku.”[13]

Pernyataan ini menggambarkan bahwa dalam pandangan sufi sekedar tertarik kepada surga dinilai sebagai suatu kesalahan atau dosa yang karenanya layak mendapat hukuman dari Tuhan.

Menurut para peneliti tasawuf, tidak benar jika dikatakan (seperti pandangan para sufi) tersebut. Pemahaman seperiti ini telah menyimpang dari apa yang telah dagariskan oleh Al-Quran dan As-Sunnah Rasulullah SAW.

Di sampingitu, karena tidak ada takut dan harap di dalam pelaksanaan ibadah, maka kaum sufi berusaha mencari tujuan lain dari ibadah. Yaitu fana’ fi al-rabb (hilang eksistensi diri dalam kesatuan bersama Tuhan). Maka tidak heran jika pada akhirnya kaum sufi mengatakan bahwa ibadah itu adalah perbuatan Tuhan, bukan perbuatan seorang hamba. 

Logikanya, apabila seorang yang sedang beribadah telah menyatu dengan Tuhan, maka beribadah itu adalah Tuhan itu sendiri. Apalagi jika sampai kepada faham wahdat al-wujud yang menyakini bahwa alam ini, termasuk manusia, hakikatnya atau substansinya adalah Tuhan, maka siapakah yang beribadah itu jika buka Tuhan.

4.        Wahdatul wujud

Faham Wahdatul wujud yang dikemukakan oleh ibn’Arabi dapat dijelaskan seperti berikut: bahwa wujud yang hakiki itu hanyalah satu, walaupun ada banyak macam penampakan keluarnya. Artinya, bahwa makhluk adalah aspek lahriyah, sedangkan aspek batin dari segala sesuatu adalah Allah. 

Dengan demikian dari segi hakikat tidak ada perbedaan antara khaliq dan makhluk maka itu karena dilihat dengan pandangan panca indra lahir karena keterbatasan akal dalam menagkap hakikat yang ada pada Dzatnya dari kesatuan dzatinyah. Yang semua terhimpun pada-Nya.

Faham Wahdatul wujud dilihat dari segi faham yang mempersamakan Tuhan dengan makhluk yang secara terang-terangan bertententangan dengan perintah Tuhan untuk tidak mempesamakan-Nya dengan suatu apapun juga. Dari sudut pandang manapun paham ini tidak bisa dibenarkan karena udah keluar dari garis keislaman.

5.        Hormat kepada syaikh

Di dalam tasawuf, khususny adalam pelaksanaan tarekat, para sufi memberikan penghormatan yang sangat luar biasa besar kepada guru atau syakh. Seorang sufi di depan syaikhnya harus seperti mayat ditanagan orang yang memandikannya. 

Ia tidak boleh bertanya tentang apa yang sudah diajarkan, lebih-lebih lagi membantah. Seorang sufi mesti harus berjalan di belakang syaikhnya, merunduk jika berpapasan atau berhadapan dengannya, menciumtangan bila bersalaman dengannya. Begitu tingginya penghormatan yang diberikan kepadasyaikh, hampir-hampir ketingkat pengkultusan, meskipun ini tidak seuruhnya terjadi pada kaum sufi.

Bagaimanapun, para pengkritik melihat bahwa penghormatan yang berlebihan ini. Tidak sesuai dengan praktek-praktek yang dicontohkan oleh Raslullah SAW dan para sahabatnya. Meskipun Rasulullah SAW pernah menolak bantahan-bantahan dari para sahabatnya dan mengatakan bahwa dia adalah Rasulullah. 

Tetapi tidak jarang bahwa dia juga membuka kesempatan untuk mengajukan pendapat-pendapat berbagai persoalan kemasyarakatan (duniawi), bahkan pernah dia merubah keputusan yang dia buat karena masukan-masukan dari para sahabat.

Rasulullah SAW juga sering mengingatkan Para sahabatnya agar tidak berlebihan-lebihan di dalam panggilan (dengan panggilan sayyid/tuan), dan kedudukan. Dia bahkan diperintahkan oleh Allah untuk menyampaikan bahwa dai tidak lain hanyalah seorang manusia biasa seperti hal layak umumnya.

Disamping itu, menurut para pengkritik, penghormatan terhadap syaikh dalam artian diatas, akan berpengaruh pada sistem belajar dan mengajar baik dalam rumah tangga maupun dalam institusi pendidikan formal (sekolah dan perkuliahan) khususnya di kalangan sufi. Tidak membuka kesempatan untuk bertanya atau adu argumentasi diantara murid dan guru dan akan melahirkan generasi-generasi yang kurang dan tidak berwawasan.

6.        Jihad

Adapun tasawuf yang lebih berkonsentrasi pada pembersihan hati, menjauhi kehidupan dunia agar dapat bermakrifat kepada Allah SWT. 

Dengan memperbanyak amalan-amalan sunat seperti shalat-shalat sunnat dan zikir-zikir di tempat-tempat yang jauh dari keramaian, telahdilihat sebagai praktek-praktek yang merendahkan jika bukan mengabaikan ajaan-ajaran berjihad bagi perbaikan diri dan masyarakat.

Ada beberapa hal yang dikemukakan dalam hal ini :[14]
a.        Dalam kitab ihya’ ‘ulum al-Din, karya imam Al-Ghazali yang terdiri dari 4 jilid dan lebih terkonsentrasi dalam persoalan ibadan dan pembersihan diri. Tidak di sentuh sama sekali tentang masalah jihad, padahal pada saat penulisan Syam sedang di serang pasukan salib.
b.        Kaum sufi berpegangan pada hadis “kita telah pulang dari jihad yang kecil menuju jihad yang lebih besar”
c.         Pada saat itu inggris dan perancis menduduki beberapa dunia islam, para sufi larut dalam zikir mereka, seolah-olah tidak pernah terjadi apa- apa.
Menurut ibn Taimiyah berkata :”bila dibandingkan dengan dengan aliran manapun orang-orang sufi adalah orang-orang yang paling menjauhi jihad.”

7.        Pengangguran

Dari ajaran-ajaran dan praktek-praktek tasawuf, dimulai dari konsentrasi kepada pembersihan hati menjauhi kehidupan dunia, beribadah dengan berbagai amalan sunat di tempat-tempat terpencil, melemahnya semangat untuk menggali ilmu pengetahuan dan berjihad. 

Hanya terkonsentrasi pada ma’rifah  dan persatuan dengan Tuhan, dilihat dari salah satu lahirnya penyebab lahirnya generasi-generasi pemalas dan penganggur. Lebih tertarik kepada pemberian orang dari pada hasil kerja dan usaha sendiri.

Kecendrungan seperti ini dilihat tidak sejalan dengan motivasi Allah untuk terus bekerja bagi kebaikan didunia dan akhirat, serta bagi perbaikan diri dan masyarakat dan umat manusia secara umum. Di samping itu, Rasulullah SAW dengan tegas mengatakan nahwa : 

“Sungguh salah seorang diantara kamu sekalian yang telah menjadi ikat pinggangnya sebagai pengikat kayu yang ditaruh diatas punggung untuk dijual lebih baik dari orang yang suka meminta-minta kepada seseorang, laludiberi atau tidak diberinya”. (R.Nasai)

8.        Tidak menikah

Sufi, adalah salah satu kelompok sempalan tempat beragam penyimpangan dari ajaran syariat ini berhuni. Salah satu ajaran menyimpang yang menonjol adalah tabattul (hidup membujang). 

Diyakini oleh penganut sufi, dengan “cara beragama” seperti ini, mereka lebih bisa mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Semisal Ketenaran Rabi'ah Al-Adawiyah sebagai wanita sufi menimbulkan hormat dan sekaligus kekaguman pada semua kalangan. Banyak kalangan ingin menikahinya, tetapi semua ditolaknya. "Aku adalah milik-Nya' jawabnya. 

Berkali-kali orang lain yang bertanya ke-padanya mengapa ia tidak menikah, Rabi'ah berkali-kali menjawab, "Ikatan perkawinan berkenaan hanya dengan wujud. Akan tetapi, adakah wujud dalam diriku? Aku bukanlah milik diriku sendiri. Aku adalah milik-Nya."

Di antara nikmat dan tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah disyariatkannya nikah, yang mana mendatangkan banyak maslahat dan manfaat bagi setiap individu dan masyarakatnya.



KESIMPULAN

Dari pembahasan yang telah dipaparkan di atas. Begitu urgrennya dalam memberi kritik terhadap tasawuf. Memang dibenarkan ada beberapa hal dalam tasawuf yang condong terhadap hal-hal yang menuju kesesatan. 

Dan tidak di pungkiri juga bahwa tasawuf merupakan titik puncak unruk mendekatkan diri kepada Allah selain dengan cara shalat lima waktu.

Setiap individu memang mempunyai pandangan tersendiri dalam menyikapi sesuatu khususnya dalam hal tasawuf. Dimana kita kenal dengan aliansis ayap kanan yang ingin membasmi tasawuf dari dunia ini.  

Sebagai kaum intelek seharusnya kita sudah bias mensikapi hal-hal seperti ini, dan memilih hal yang menueurut kacamata kita memang benar. Karena perbedaan pandangan merupakan kemaslahatan munuju ridha Allah.



Footnote:

[1] http://astor09.blogspot.com/2011/06/buku-ilmu-tasawuf.html
[2]  Lihat Ihsan Ilahi Dhahir, Sejarah Hitam Tasawuf: Latar Belakang Kesesatan Kaum Sufi, terj. Fadhli Bahri, Darul Falah, Jakarta, 2001.
[3] [9] Ibrahim Hilal, At-Tashawwuf Al-Islami bain Ad-Din wa Al-Falsafah, Dar An-Nahdhah Al-‘Arabiyah, Kairo, 1979, hal. 32.
[4] http://rizal12315.blogspot.com/2015/01/studi-kritis-terhadap-tasawuf.html
[5] Anwar Rosihon dkk, Ilmu Tasawuf, Penerbit: CV Pustaka Setia, Bandung, 2008, hal. 234.
[6] M. Solihin, Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2008, hlm 234
[7] M. Solihin, Ilmu Tasawuf. 2008 Bandung: Pustaka Setia, , h237
[8] Amin, Samsul Munir. Ilmu Tasawuf. Jakarta : Teruna Grafica. Cet. I. 2012. h.
[9] Solihin dan Anwar, rosihon. Ilmu tasawuf. Bandung : Pustaka Setia. Cet. II. 2008.h.
[10] Jamil. M. Cakrawala Tasawuf, sejarah, pemikiran dan kontektualitas. Ciputat ; Gaung Persada Press. 2004. h. 166
[11] Simuh. Tasawuf dan perkembangannya Dalam Islam. Jakarta;PT Raja Grafindo Persada. 1997. h. 167
[12] Jamil. M. Cakrawala Tasawuf, sejarah, pemikiran dan kontektualitas. h. 170
[13] Nasution, Harun. FalsafatdanMistismedalamislam. Jakarta ;Bulanbantang. 1973. h. 72
[14] Jamil. M. Cakrawala Tasawuf, sejarah, pemikiran dan kontektualitas. h. 181-182

0 Response to "Mengenal Ilmu Tasawuf - Makalah"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel mgid

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel mgid