Perkembangan Islam di Aceh - Makalah
Wednesday, September 7, 2016
Add Comment
Daftar Isi: [Tampil]
A.
Masuk
dan Berkembangnya Islam di Aceh
Hampir
semua ahli sejarah menyatakan bahwa dearah Indonesia yang mula-mula di masuki
Islam ialah daerah Aceh. (Taufik Abdullah, 1983: 4).
Berdasarkan kesimpulan seminar tentang masuknya Islam ke Indonesia yang
berlangsung di Medan pada tanggal 17 – 20 Maret 1963,
yaitu:
a.
Islam
untuk pertama kalinya telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M, dan
langsung dari Arab.
b.
Daerah
yang pertama kali didatangi oleh Islam adalah pesisir Sumatera, adapun kerajaan
Islam yang pertama adalah di Pasai.
c.
Dalam
proses pengislaman selanjutnya, orang-orang Islam Indonesia ikut aktif
mengambil peranan dan proses penyiaran Islam dilakukan secara damai.
d.
Keterangan
Islam di Indonesia, ikut mencerdaskan rakyat dan membawa peradaban yang tinggi
dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia.(Taufik Abdullah, 1983: 5)
Masuknya
Islam ke Indonesia ada yang mengatakan dari India, dari Persia, atau dari Arab.
(Musrifah, 2005: 10-11). Dan jalur yang digunakan adalah:
1.
Perdagangan,
yang
mempergunakan sarana pelayaran.
2.
Dakwah,
yang dilakukan oleh mubaligh yang berdatangan bersama para pedagang, para
mubaligh itu bisa dikatakan sebagai sufi pengembara.
3.
Perkawinan,
yaitu perkawinan antara pedagang muslim, mubaligh dengan anak bangsawan
Indonesia, yang menyebabkan terbentuknya inti sosial yaitu keluarga muslim dan
masyarakat muslim.
4.
Pendidikan.
Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran
Islam.
5.
Kesenian.
Jalur yang banyak sekali dipakai untuk penyebaran Islam terutama di Jawa adalah
seni.
Bentuk agama Islam itu sendiri
mempercepat penyebaran Islam, apalagi sebelum masuk ke Indonesia telah tersebar
terlebih dahulu ke daerah-daerah Persia dan India, dimana kedua daerah ini
banyak memberi pengaruh kepada perkembangan kebudayaan Indonesia. Dalam
perkembangan agama Islam di daerah Aceh, peranan mubaligh sangat besar, karena
mubaligh tersebut tidak hanya berasal dari Arab, tetapi juga Persia, India,
juga dari Negeri sendiri.
Ada dua faktor penting yang menyebabkan masyarakat Islam mudah berkembang di Aceh, yaitu:
Ada dua faktor penting yang menyebabkan masyarakat Islam mudah berkembang di Aceh, yaitu:
1.
Letaknya
sangat strategis dalam hubungannya dengan jalur Timur Tengah dan
Tiongkok.
2.
Pengaruh
Hindu – Budha dari Kerajaan Sriwijaya di Palembang tidak begitu berakar kuat
dikalangan rakyat Aceh, karena jarak antara Palembang dan Aceh cukup
jauh.(A.Mustofa, Abdullah, 1999: 53).
Sedangkan Hasbullah mengutip pendapat
Prof. Mahmud Yunus, memperinci faktor-faktor yang menyebabkan Islam dapat cepat
tersebar di seluruh Indonesia (Hasbullah, 2001: 19-20), antara lain:
a.
Agama
Islam tidak sempit dan berat melakukan aturan-aturannya, bahkan mudah ditiru
oleh segala golongan umat manusia, bahkan untuk masuk agama Islam saja cukup
dengan mengucap dua kalimah syahadat.
b.
Sedikit
tugas dan kewajiban Islam.
c.
Penyiaran
Islam itu dilakukan dengan cara berangsur-angsur sedikit demi sedikit.
d.
Penyiaran
Islam dilakukan dengan cara bijaksana.
e.
Penyiaran
Islam dilakukan dengan perkataan yang mudah dipahami umum, dapat dimengerti
oleh golongan bawah dan golongan atas.
Konversi massal masyarakat Nusantara
kepada Islam pada masa perdagangan terjadi karena beberapa sebab (Musrifah,
2005: 20-21), yaitu:
1.
Portilitas
(siap pakai) sistem keimanan Islam.
2.
Asosiasi
Islam dengan kekayaan. Ketika penduduk pribumi Nusantara bertemu dan
berinteraksi dengan orang muslim pendatang di pelabuhan, mereka adalah pedagang
yang kaya raya. Karena kekayaan dan kekuatan ekonomi, mereka bisa memainkan
peranan penting dalam bidang politik dan diplomatik.
3.
Kejayaan
militer. Orang muslim dipandang perkasa dan tangguh dalam peperangan.
4.
Memperkenalkan
tulisan. Agama Islam memperkenalkan tulisan ke berbagai wilayah Asia Tenggara
yang sebagian besar belum mengenal tulisan.
5.
Mengajarkan
penghapalan Al-Qur’an. Hapalan menjadi sangat penting bagi penganut baru,
khususnya untuk kepentingan ibadah, seperti sholat.
6.
Kepandaian
dalam penyembuhan. Tradisi tentang konversi kepada Islam berhubungan dengan
kepercayaan bahwa tokoh-tokoh Islam pandai menyembuhkan. Sebagai contoh, Raja
Patani menjadi muslim setelah disembuhkan dari penyakitnya oleh seorang Syaikh
dari Pasai.
7.
Pengajaran
tentang moral. Islam menawarkan keselamatan dari berbagai kekuatan jahat dan
kebahagiaan di akhirat kelak.
Melalui faktor-faktor dan sebab-sebab
tersebut, Islam cepat tersebar di seluruh Nusantara sehingga pada gilirannya
nanti, menjadi agama utama dan mayoritas negeri ini.
B.
Pusat
Keunggulan Pengkajian Islam Pada Tiga Kerajaan Islam di Aceh
1.
Zaman
Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan Islam pertama di Indonesia
adalah kerajaan Samudra Pasai, yang didirikan pada abad ke-10 M dengan raja
pertamanya Malik Ibrahim bin Mahdum. Yang kedua bernama Al-Malik Al-Shaleh dan
yang terakhir bernama Al-Malik Sabar Syah (tahun 1444 M/ abad ke-15 H).
(Mustofa Abdullah, 1999: 54).
Pada tahun 1345, Ibnu Batutah dari
Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada zaman pemerintahan Malik Az-Zahir,
raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan bermazhab Syafi’i, mengadakan
pengajian sampai waktu sholat Ashar dan fasih berbahasa Arab serta
mempraktekkan pola hidup yang sederhana. (Zuhairini,et.al, 2000:
135). Keterangan Ibnu Batutah tersebut dapat ditarik kesimpulan pendidikan
yang berlaku di zaman kerajaan Pasai sebagai berikut:
a.
Materi
pendidikan dan pengajaran agama bidang syari’at adalah Fiqh mazhab Syafi’i
b.
Sistem
pendidikannya secara informal berupa majlis ta’lim dan halaqoh
c.
Tokoh
pemerintahan merangkap tokoh agama
d.
Biaya
pendidikan bersumber dari negara.(Zuhairini, et.al., 2000: 136)
Pada zaman kerajaan Samudra Pasai
mencapai kejayaannya pada abad ke-14 M, maka pendidikan juga tentu mendapat
tempat tersendiri. Mengutip keterangan Tome Pires, yang menyatakan bahwa “di
Samudra Pasai banyak terdapat kota, dimana antar warga kota tersebut terdapat
orang-orang berpendidikan”.(M.Ibrahim, et.al, 1991: 61)
Menurut Ibnu Batutah juga, Pasai pada
abad ke-14 M, sudah merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara, dan banyak
berkumpul ulama-ulama dari negara-negara Islam. Ibnu Batutah menyatakan bahwa
Sultan Malikul Zahir adalah orang yang cinta kepada para ulama dan ilmu
pengetahuan. Bila hari jum’at tiba, Sultan sembahyang di Masjid menggunakan
pakaian ulama, setelah sembahyang mengadakan diskusi dengan para alim
pengetahuan agama, antara lain: Amir Abdullah dari Delhi, dan Tajudin dari
Ispahan. Bentuk pendidikan dengan cara diskusi disebut Majlis Ta’lim atau
halaqoh. Sistem halaqoh yaitu para murid mengambil posisi melingkari guru. Guru
duduk di tengah-tengah lingkaran murid dengan posisi seluruh wajah murid
menghadap guru.
2.
Kerajaan
Perlak
Kerajaan Islam kedua di Indonesia
adalah Perlak di Aceh. Rajanya yang pertama Sultan Alaudin (tahun 1161-1186
H/abad 12 M). Antara Pasai dan Perlak terjalin kerja sama yang baik sehingga
seorang Raja Pasai menikah dengan Putri Raja Perlak. Perlak merupakan daerah
yang terletak sangat strategis di Pantai Selat Malaka, dan bebas dari pengaruh
Hindu.(Hasbullah, 2001: 29).
Kerajaan Islam Perlak juga memiliki
pusat pendidikan Islam Dayah Cot Kala. Dayah disamakan dengan Perguruan Tinggi,
materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi,
ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan tata negara, mantiq, ilmu falaq dan
filsafat. Daerahnya kira-kira dekat Aceh Timur sekarang. Pendirinya adalah
ulama Pangeran Teungku Chik M.Amin, pada akhir abad ke-3 H, abad 10 M. Inilah
pusat pendidikan pertama.
Rajanya yang ke enam bernama Sultan
Mahdum Alaudin Muhammad Amin yang memerintah antara tahun 1243-1267 M, terkenal
sebagai seorang Sultan yang arif bijaksana lagi alim. Beliau adalah seorang
ulama yang mendirikan Perguruan Tinggi Islam yaitu suatu Majlis Taklim tinggi
dihadiri khusus oleh para murid yang sudah alim. Lembaga tersebut juga
mengajarkan dan membacakan kitab-kitab agama yang berbobot pengetahuan tinggi,
misalnya kitab Al-Umm karangan Imam Syafi’i.(A.Mustofa, Abdullah, 1999: 54)
Dengan demikian pada kerajaan Perlak ini proses pendidikan Islam telah berjalan cukup baik.
Dengan demikian pada kerajaan Perlak ini proses pendidikan Islam telah berjalan cukup baik.
3.
Kerajaan
Aceh Darussalam
Proklamasi kerajaan Aceh Darussalam
adalah hasil peleburan kerajaan Islam Aceh di belahan Barat dan Kerajaan Islam
Samudra Pasai di belahan Timur. Putra Sultan Abidin Syamsu Syah diangkat
menjadi Raja dengan Sultan Alaudin Ali Mughayat Syah (1507-1522 M).
Bentuk teritorial yang terkecil dari
susunan pemerintahan Kerajaan Aceh adalah Gampong (Kampung), yang dikepalai
oleh seorang Keucik dan Waki (wakil). Gampong-gampong yang letaknya berdekatan
dan yang penduduknya melakukan ibadah bersama pada hari jum’at di sebuah masjid
merupakan suatu kekuasaan wilayah yang disebut mukim, yang memegang peranan
pimpinan mukim disebut Imeum mukim.(M. Ibrahim, et.al., 1991: 75)
Jenjang pendidikan yang ada di Kerajaan
Aceh Darussalam diawali pendidikan terendah Meunasah (Madrasah). Yang berarti
tempat belajar atau sekolah, terdapat di setiap gampong dan mempunyai multi
fungsi antara lain:
a.
Sebagai
tempat belajar Al-Qur’an
b.
Sebagai
Sekolah Dasar, dengan materi yang diajarkan yaitu menulis dan membaca huruf
Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu, akhlak dan sejarah Islam.
Fungsi lainnya
adalah sebagai berikut:
a.
Sebagai
tempat ibadah sholat 5 waktu untuk kampung itu.
b.
Sebagai
tempat sholat tarawih dan tempat membaca Al-Qur’an di bulan puasa.
c.
Tempat
kenduri Maulud pada bulan Mauludan.
d.
Tempat
menyerahkan zakat fitrah pada hari menjelang Idhul Fitri atau bulan puasa
e.
Tempat
mengadakan perdamaian bila terjadi sengketa antara anggota kampung.
f.
Tempat
bermusyawarah dalam segala urusan
g.
Letak
meunasah harus berbeda dengan letak rumah, supaya orang segera dapat mengetahui
mana yang rumah atau meunasah dan mengetahui arah kiblat sholat. (M. Ibrahim,
1991: 76)
Selanjutnya sistem pendidikan di Dayah
(Pesantren) seperti di Meunasah tetapi materi yang diajarkan adalah kitab Nahu,
yang diartikan kitab yang dalam Bahasa Arab, meskipun arti Nahu sendiri adalah
tata bahasa (Arab). Dayah biasanya dekat masjid, meskipun ada juga di dekat
Teungku yang memiliki dayah itu sendiri, terutama dayah yang tingkat
pelajarannya sudah tinggi. Oleh karena itu orang yang ingin belajar nahu itu
tidak dapat belajar sambilan, untuk itu mereka harus memilih dayah yang agak
jauh sedikit dari kampungnya dan tinggal di dayah tersebut yang disebut
Meudagang. Di dayah telah disediakan pondok-pondok kecil mamuat dua orang tiap
rumah.
Dalam buku karangan Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, istilah Rangkang merupakan madrasah seringkat
Tsanawiyah, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah,
berhitung, dan akhlak. Rangkang juga diselenggarakan disetiap mukim.
(Hasbullah, 2001: 32). Bidang pendidikan di kerajaan Aceh Darussalam benar-benar
menjadi perhatian. Pada saat itu terdapat lembaga-lembaga negara yang bertugas
dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan yaitu:
1.
Balai
Seutia Hukama, merupakan lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para
ulama, ahli pikir dan cendikiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu
pengetahuan.
2.
Balai
Seutia Ulama, merupakan jawatan pendidikan yang bertugas mengurus
masalah-masalah pendidikan dan pengajaran.
3.
Balai
Jama’ah Himpunan Ulama, merupakan kelompok studi tempat para ulama dan sarjana
berkumpul untuk bertukar fikiran membahas persoalan pendidikan dan ilmu
pendidikannya.
Aceh pada saat itu merupakan sumber
ilmu pengetahuan dengan sarjana-sarjanaya yang terkenal di dalam dan luar
negeri. Sehingga banyak orang luar datang ke Aceh untuk menuntut ilmu, bahkan
ibukota Aceh Darussalam berkembang menjadi kota Internasional dan menjadi pusat
pengembangan ilmu pengetahuan.
Kerajaan Aceh telah menjalin suatu
hubungan persahabatan dengan kerajaan Islam terkemuka di Timur Tengah yaitu
kerajaan Turki. Pada masa itu banyak pula ulama dan pujangga-pujangga dari
berbagai negeri Islam yang datang ke Aceh. Para ulama dan pujangga ini
mengajarkan ilmu agama Islam (Theologi Islam) dan berbagai ilmu pengetahuan
serta menulis bermacam-macam kitab berisi ajaran agama. Karenanya pengajaran
agama Islam di Aceh menjadi penting dan Aceh menjadi kerajaan Islam yang kuat
di nusantara. Diantara para ulama dan pijangga yang pernah datang ke kerajaan
Aceh antara lain Muhammad Azhari yang mengajar ilmu Metafisika, Syekh Abdul Khair
Ibn Syekh Hajar ahli dalam bidang pogmatic dan mistik, Muhammad Yamani ahli
dalam bidang ilmu usul fiqh dan Syekh Muhammad Jailani Ibn Hasan yang mengajar
logika. (M.Ibrahim,et.al., 1991: 88)
Tokoh pendidikan agama Islam lainnya
yang berada di kerajaan Aceh adalah Hamzah Fansuri. Ia merupakan seorang
pujangga dan guru agama yang terkenal dengan ajaran tasawuf yang beraliran
wujudiyah. Diantara karya-karya Hamzah Fansuri adalah Asrar Al-Aufin, Syarab
Al-Asyikin, dan Zuiat Al-Nuwahidin. Sebagai seorang pujangga ia menghasilkan
karya-karya, Syair si burung pungguk, syair perahu.
Ulama penting lainnnya adalah
Syamsuddin As-Samathrani atau lebih dikenal dengan Syamsuddin Pasai. Ia adalah
murid dari Hamzah Fansuri yang mengembangkan paham wujudiyah di Aceh. Kitab
yang ditulis, Mir’atul al-Qulub, Miratul Mukmin dan lainnya.
Ulama dan pujangga lain yang pernah
datang ke kerajaan Aceh ialah Syekh Nuruddin Ar-Raniri. Ia menentang paham
wujudiyah dan menulis banyak kitab mengenai agama Islam dalam bahasa Arab maupun
Melayu klasik. Kitab yang terbesar dan tertinggi mutu dalam kesustraan Melayu
klasik dan berisi tentang sejarah kerajaan Aceh adalah kitab Bustanul Salatin.
Pada masa kejayaan kerajaan Aceh,
masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) oleh Sultannya banyak didirikan masjid
sebagai tempat beribadah umat Islam, salah satu masjid yang terkenal Masjid
Baitul Rahman, yang juga dijadikan sebagai Perguruan Tinggi dan mempunyai 17
daars (fakultas).
Dengan melihat banyak para ulama dan
pujangga yang datang ke Aceh, serta adanya Perguruan Tinggi, maka dapat
dipastikan bahwa kerajaan Aceh menjadi pusat studi Islam. Karena faktor agama
Islam merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat
Aceh pada periode berikutnya. Menurut B.J. Boland, bahwa seorang Aceh adalah
seorang Islam.(M.Ibrahim,et.al., 1991: 89)
DAFTAR PUSTAKA
http://mtp6014-syauqiridha.blogspot.com/2013/05/masuknya-isalm-ke-aceh.html
- Abdullah, Taufik. Ed. Agama dan Perubahan Sosial, Jakarta : CV. Rajawali, 1983
- Arifin, HM., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003
- Drajat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1996
- Gunawan, Ary H, Sosiologi Pendidikan, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2000
- Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001, cet. 4
- Ibrahim, M, et.al., Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Jakarta : CV. Tumaritis, 1991, cet 2
- Mustofa.A, aly, Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk Fakultas Tarbiyah, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999
- Purwanto, M. Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,1992
- Redaksi Penerbit Asa Mandiri, Standar Nasional Pendidikan (NSP), Jakarta: Asa Mandiri, 2006
- Sunanto, Musrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005
- Tafsir, Ahmad, Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Kebudayaan, Bandung : Pustaka, 1986
- Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1993
- Zauharini, et.al., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2000, set 6
0 Response to "Perkembangan Islam di Aceh - Makalah "
Post a Comment