Syarat-Syarat Hadis Sahih - Kuliah Ulumul Hadis

Daftar Isi: [Tampil]

Syarat-Syarat Hadis Sahih[1]

a.             Bersambungnya sanad
Bersambungnya sanad berarti setiap perawi dalam sanad bertemu dan menerima periwayatan dari perawi sebelumnya, baik secara langsung atau secara hukum dari awal sanad sampai akhirnya. Pertemuan persambungan sanad dalam periwayatan ada dua macam lambang yang digunakan oleh para periwayat :
1.        Pertemuan langsung (mubasyarah),
Seorang bertatap muka langsung dengan syaikh yang menyampaikan periwayatan. Maka ia mendengarkan berita yang disampaikan atau melihat apa yang dilakukan. Periwayatan dalam bentuk pertemuan langsung pada umumnya menggunakan lambang ungkapan :
سمعت : aku mendengar,
- اخبرني- حدّثنا- اخبرنا حدّثني: memberitakan kepadaku/kami,
رايت فلانا  : aku melihat si Fulan, dan lain-lain.
Jika dalam periwayatan sanad hadis menggunakan kalimat tersebut, atau sesamanya maka sanadnya bersambung.
2.        Pertemuan secara hukum
Seorang meriwayatkan hadis dari seorang yang hidup sesamanya dengan ungkapan kata yang mungkin mendengar atau mungkin melihat. Misalnya :
قال فلان - عن فلان - فعل فلان   : si Fulan berkata..../dari si Fulan/si Fulan melakukan begini.
Persambungan sanad dalam ungkapan kata ini masih secara hukum, maka perlu penelitian lebih lanjut sehingga dapat diketahui apakah benar ia bertemu dengan syaikhnya atau tidak. Maka dapat diperiksa dengan dua teknik berikut :
a)             Mengetahui orang yang diterima periwayatannya telah wafat sebelum atau sesudah perawi berusia dewasa.
b)             Keterangan seorang perawi atau imam hadis bahwa seorang perawi bertemu atau tidak bertemu, mendengar atau tidak mendengar, melihat dengan orang yang menyampaikan periwayatannya atau tidak melihat. Keterangan seorang perawi ini dijadikan saksi kuat yang memperjelas keberadaan sanad.

b.             Keadilan para perawi
Dalam istilah periwayatan orang yang adil adalah orang yang konsisten atau istiqomah dalam beragama, baik akhlaknya, tidak fasik dan tidak melakukan cacat maru’ah (maruah : menjaga kehormatan sebagai seorang perawi).
Istiqomah dalam beragama, artinya orang tersebut konsisten dalam beragama, menjalankan segala perintah, dan menjauhkan segala dosa yang menyebabkan kefasikan. Dalam hal menilai kedailan seorang perawi cukup dilakukan dengan salah satu teknik berikut :
a)             Keterangan seorang atu beberapa ulama ahli ta’dil bahwa seorang itu bersifat adil, sebagai mana yang disebutkan dalam kitab-kitab Al-Jarh wa At-Ta’dil.
b)             Ketenaran seseorang bahwa bersifat adil, seperti imam empat, yaitu : Imam Hanafi, Maliki, As-Syafi’i, dan Hambali.[2]

c.             Dhabitnya para perawi
Dhabitnya para perawi itu memiliki daya ingat hafalan yang kuat dan sempurna. daya ingat dan hafalan ini sanat diperlukan dalam rangka menjaga otentisitas hadis, mengingat tidak seluruh hadis tercatat pada masa awal perkembangan Islam. Atau jika tercatat, catatan tulisannya harus selalu benar, tidak terjadi kesalahan yang mencurigakan. Sifat dhabit ini ada dua macam, yaitu sebagai berikut :
a)             Dhabith dalam dada, artinya memiliki daya ingat dan hafalan yang kuat sejak ia menerima hadis dari seorang syaikh sampai denan pada saat menyampaikan kepada orang lain, atau ia memiliki kemampuan untuk menyampaikan kapan saja diperlukan kepada oran lain.
b)             Dhabit dalam tulisan, artinya tulisan hadisnya sejak mendengar dari gurunya terpelihara dari perubahan, pergantian, dan kekurangan. Singkatnya, tidak terjadi kesalahan-kesalahan tulis kemudian diubah dan diganti, karena hal demikian akan mengundang keraguan atas ke-dhabith-an seseorang.

d.             Tidak terjadi kejanggalan (Syadzdz)
Syadzdz dalam bahasa berarti ganjil, terasing atau menyalahi aturan. Maksud syadzdz di sini adalah periwayatan orang tsiqah (terpercaya, yaitu adil dan dhabith) bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah. Dengan demikian, jika disyaratkan hadis shahi harus tidak terjadi syadzdz, berati hadis tidak terjadi adanya periwayatan orang tsiqah bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah. Syadzdz bisa terjadi pada matan atau pada sanad suatu hadis.
Contoh syadzdz pada matan hadis, seperti hadis yang diriwayatkan oleh Muslim melalui jalan Ibnu Wahab sampai pada Abdullah bin Zaid dalam memberiakn sifat-sifat wudhu’ Rasulullah saw :
انّه مسح براسه بماء غير فضل يده
Bahwa beliau menyapu kepalanya dengan air yang bukan kelebihan ditangannya.
Riwayatan Al-Baihaqi, melalui jalan sanad yang sama mengatakan :
انّه اخد لاذنيه ماء خلاف الماء الدّي اخد لراسه
Bahwasanya beliau mengambil air untuk kedua telinganya selain air yang diambil untuk kepalanya.
Periwayatan Al-Baihaqi adalah syadzdz (janggal) dan tidak shahih, karena periwayatan dari Ibnu Wahb seorang tsiqah, menyalahi periwayatan jama’ah ulama dan Muslim yang lebih tsiqah.

e.             Tidak ada illat
Dari segi bahasa illat berarti penyakit, sebab, alasan atau udzur. Sedangkan arti illat disini adalah suatu sebab tersembunyi yang membuat cacat keabsahan suatu hadis padahal lahirnya selamat dari cacat tersebut. Misalnya, sebuah hadis setelah diadalan penelitian, ternyata ada sebab yang membuat cacat yang menghalangi terkabulnya, perawi seorang yang fasik, tidak bagus hafalannya, ahli bid’ah, dan lain-lain.





[1] Dr. H. Abdul Majid, Ulumul Hadis edisi ke-2...hlm  168
[2] Mahmud Ath-Thahhan, Taysir Mushtalah Al-Hadist, hlm. 121-122 

0 Response to "Syarat-Syarat Hadis Sahih - Kuliah Ulumul Hadis"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel mgid

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel mgid